Abu Ayyub Al Ansari.

ABU AYYUB AL-ANSARI…UNTA RASULULLAH DAN KONSTANTINOPELSesampai di Madinah (Yathrib) unta Nabi Muhammad beranjak membelah jalan yang dia lalui, hingga dia berhenti di perkampungan Bani Najjar. Di sana dia menderum dekat rumah seorang lelaki yang baik, diberkahi dan suka menjamu tetamu. Dia membuka untuk baginda pintu rumahnya dan hatinya. Nabi masuk ke rumah itu dan beliau mendoakan penghuni rumah itu dengan doa-doa yang Allah kehendaki. Rumah itu terdiri dari dua lantai. Nabi tinggal di lantaibawah, agar lebih dekat dengan orang-orang yang datang berkunjung kepada beliau, baik dari kalangan penduduk Madinah mahu pun selain warga Madinah. Abu Ayyub mengharapkan beliau untuk tinggal di lantai atas, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh, saya tidak suka engkau tinggal di bawahku dan aku tinggal di atasmu.” Rasulullah berkata kepadanya dengan wajah yang berseri seri, gembira, suka cita dengan mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih beliau atas nikmat yang beliau terima, “Wahai Abu Ayub, sesungguhnya yang lebih baik bagi kita dan orang-orang di sekitar kita adalah aku tinggal di lantai bawah dari rumah ini.”Abu Ayub mentaati titah Nabi ini dan dia tinggal di lantai atas. Dia sangat ingin agar Nabi merasakan kelapangan dan kelonggaran yang di rumahnya maka dia berusaha untuk mewujudkan itu sekuat sempurna tenaganya.Sepanjang hidupnya, Abu Ayyub terus melaksanakan jihad secara berterusan dan menghadapi bahaya, mencari kesyahidan dan sangat menginginkan kematian di jalan Allah.Dia berperanan sebagai seorang pemanah dan penyerang yang handal di samping Saidina Ali . Dia ikut serta dalam pelbagai pertempuran bersama Ali, yakni Perang Jamal, Perang Shiffin, dan Perang Nahrawan. Dia teguhmemegang komitmen menunaikan janjinya kepada Saidina Ali sehingga Ali menghadap Rabbnya. Abu Ayyub tetap mencari medan jihad untuk melawan pemberontak dan penderhaka, atau menyebarluaskan kalimat kebenaran dan iman. Seolah-olah Allah tidak menciptakannya kecuali untuk menjadi sahabat senjatanya dan menjadi teman dekat dari jihadnya, agar dia menjadi pembela kehormatan dan kesucian, penolong kaum dhuafa baik dari kalangan kaum lelaki, wanita dan anak-anak yang tidak mampu melakukan tipu muslihat dan tidak mendapat petunjuk jalan.Tatkala pasukan muslimin berangkat untuk berjihad melawan Romawi di ibukota mereka, Konstantinopel, Abu Ayub segera bergabung dengan pasukan itu. Pada perang itu Abu Ayub menderita luka yang sangat parah lalu dia mewasiatkan kepada orang yang bersamanya agar berjalan dengan membawanya apabila dia mati ke negeri musuh, sampai ketika mereka tidak mendapati tempat untuk menguburkannya dan tidak mampu kembali ke pasukan induk, kerana takut serangan musuh maka hendaklah mereka menguburkannya di tempat yang mereka tidak mampu lagi berjalan lebih dalam lagi di negeri musuh.Akhirnya orang yang diwasiati Abu Ayub itu menguburkan jasad Abu Ayub berdekatan dinding benteng Konstantinopel. Abu Ayub meninggal dunia pada tahun 52 H. berdasarkan pendapat yang paling kuat dari sekian banyak pendapat ahli sejarah.Seolah-olah Abu Ayub dengan wasiatnya itu bermaksud untuk menggantungkan pandangan teman-temannya dan cita-cita mereka untuk mencapai tujuan agung serta untuk mewujudkan kemenangan yang meluas.Dia menginginkan teman-temannya memasukkan jasadnya yang sudah takbernyawa itu ke tempat terjauh dalam negeri musuh yang dapat mereka capai lantas menguburkannya di sana, sebagai bukti pandangannya yang tertuju ke hari kemenangan dan keinginannya yang sangat kuat agar jasadnya menjadi pemecut semangat para mujahid yang akan menggapai kesuksesan di belakangnya. Seolah-olah dia berkata kepada Rabbnya pada hari pertemuan dengan-Nya nanti, “Tuhanku, inilah aku sudah berjihad di jalan-Mu sepanjang hayatku, dan aku juga tetap berjihad di jalan-Mu dengan jasadku sesudah kematianku.”DR. MUHAMMAD BAKR ISMAILRijâl Ahabbahumur Rasûl wa Basysyarahum bil Jannah.